DISKUSI
Dalam diskusi yang baik, setiap peserta diskusi hendaknya bersikap aktif
selama diskusi berlangsung. Dengan kata lain, peserta diskusi harus
aktif mengemukakan pendapat secara objektif dan mengandung kebenaran.
Saat hendak mengungkapkan pendapat, usul, tanggapan, atau sekadar
menginformasikan sesuatu, baik lisan maupun tertulis, kadang-kadang kita
mengalami kesulitan dalam memulai. Sebetulnya banyak hal yang hendak
disampaikan, namun ternyata tidak dapat keluar, atau kalau toh keluar
susunannya tidak sistematis. Informasi yang hendak disampaikan tidak
mudah dipahami. Untuk itu, gagasanbyang hendak disampaikan perlu
terlebih dahulu dirumuskan.
Bagaimana merumuskan gagasan yang hendak disampaikan?bPerhatikan uraian berikut.
Cara merumuskan gagasan perlu memperhatikan hal sebagai berikut.
a. Apa yang hendak disampaikan?
b. Untuk tujuan apakah kita menyampaikan hal tersebut?
c. Bagaimana kita menyampaikannya?
d. Bagaimana pemilihan kata sehingga mempengaruhi struktur kalimat yang hendak kita gunakan?
Perhatikan contoh tanggapan kasus di bawah ini!
Kasus:
Dalam sebuah rapat kita tidak setuju adanya pendapat tentang adanya
rencana pembongkaran beberapa bangunan bersejarah yang berada di tengah
kota. Kita juga bermaksud memberi solusi atas hal itu.
Perumusan tanggapan yang kurang tepat:
Ah pendapat itu, seperti adanya rencana pembongkaran tidak setuju saya.
Sebaiknya rencana tersebut kalau kita masih akan melihat sejarah bangsa
kita saya setuju rencana tersebut dibatalkan.
Perumusan tanggapan yang tepat:
Saya kurang sependapat jika alasan penataan kota mengakibatkan hancurnya
bangunan bersejarah. Kita akan menjadi bangsa yang besar jika kita
menghargai sejarah bangsa sendiri. Menurut pendapat saya, sebaiknya
kebijakan tata kota ditinjau kembali tanpa harus mengorbankan
nilai-nilai sejarah yang ada. Atau, dicarikan solusi yang lebih baik
tanpa harus merusak nilai-nilai budaya yang ada.
Tanggapan dalam Diskusi
Dalam berdiskusi kita dituntut untuk dapat menanggapi pembicaraan dengan
tepat. Oleh karena itu, saat mengikuti diskusi kita harus:
1. mencatat pokok-pokok pembicaraan;
2. mencatat hal-hal yang masih kita pertanyakan (hal yang kurang jelas); dan
3. mencatat masalah-masalah yang akan kita tanggapi dengan sanggahan.
Dari hasil catatan tersebut kita akan mempunyai bahan untuk menyampaikan dukungan, sanggahan, maupun kritikan kepada pembicara.
Untuk menyampaikan suatu sanggahan yang baik hendaknya:
1. menggunakan alasan/argumen yang logis untuk memperkuat gagasan;
2. didukung dengan fakta;
3. menggunakan kalimat efektif; dan
4. memperhatikan santun berbahasa (tidak menyinggung lawan bicara).
Rangkuman Diskusi
Rangkuman dapat disebut juga ringkasan. Rangkuman dapat diartikan
sebagai bentuk pendek dari sebuah kegiatan. Rangkuman diskusi berisi
ringkasan kegiatan dalam sebuah diskusi. Rangkuman diskusi ditulis dalam
bentuk notulen diskusi. Isi notulen diskusi meliputi judul diskusi,
pembicara diskusi, moderator, notulis, waktu diskusi, peserta diskusi,
acara, dan kesimpulan. Format notulen diskusi adalah sebagai berikut.
NOTULEN DISKUSI
J udul diskusi : ________________________________________
Pembicara : ________________________________________
Moderator : ________________________________________
Notulis : ________________________________________
Waktu dan tempat : ________________________________________
Acara :
a. Pembukaan : ________________________________________
(Pembukaan diskusi dilakukan oleh moderator. Isi pembukaan adalah
penjelasan singkat tentang tata cara diskusi yang akan dilaksanakan.)
b. Penyajian : ________________________________________
(Bagian ini berisi rangkuman isi makalah yang diba-wakan oleh pembicara)
c. Tanya jawab : ________________________________________
(Bagian ini berisi tanya jawab yang dilakukan antara pembicara dengan
peserta diskusi. Jalannya tanya jawab diatur oleh moderator.)
Kesimpulan : ________________________________________
Notulis
(na ma)
FRASA
Frasa adalah kesatuan yang terdiri atas dua kata atau lebih yang
masing-masing mempertahankan makna dasar katanya dan tidak melampaui
batas dan fungsi. Sebuah frasa mempunyai suatu unsur inti atau pusat,
sedangkan unsur lain disebut penjelas. Contoh: petani muda, tepi sawah,
dan lereng gunung. Kata petani, tepi dan lereng adalah unsur inti
sedangkan muda, sawah, dan gunung disebut penjelas
Penggolongan frasa berdasarkan kelompok kata dapat dibedakan menjadi dua.
1. Frasa Endosentris
a. Frasa endosentris atributif terdiri atas inti dan penjelas.
Contoh:
Pelaku peledakan / sedang tersenyum
i nti penjelas / penjelas inti
Frasa pelaku peledakan disebut juga frasa atribut berimbuhan
karena penjelasnya merupakan kata berimbuhan.
b. Frasa endosentris koordinatif adalah frasa yang unsur pembentuknya merupakan kata yang sederajat kedudukannya.
Contoh:
Mereka menangis dan meratapi nasibnya.
c. Frasa endosentris apositif bersifat keterangan yang ditambahkan atau diselipkan.
Contoh:
Pak Andi, camat kami, sedang menghadiri pertemuan.
2. Frasa Eksosentris
Bila gabungan tersebut berlainan kelasnya dari unsur yang membentuknya.
Kedua gabungan kata tersebut tidak dapat dipisahkan karena merupakan
satu kesatuan.
Contoh :
- Ia pergi ke Bandung bersama ayah.
- Ia pergi ke sekolah tanpa pamit kepada ayah.
- Ia bekerja sebagai guru.
Penggolongan frasa berdasarkan kelas kata
Selain klasifikasi berdasarkan inti atau pusat, frasa juga dapat
dibedakan berdasarkan kelas kata yang menjadi inti frasa tersebut.
1. Frasa Nominal, inti frasanya adalah kata benda.
Contoh: rumah besar, pengetahuan umum, dan guru baru.
2. Frasa Verbal, inti frasanya adalah kata kerja.
Contoh: bertanam sayur, menerima tamu, dan membaca berita.
3. Frasa Adjektival, bila inti frasanya ber-bentuk kata sifat.
Contoh: sangat tinggi, sangat menakjubkan, dan cantik sekali.
4. Frasa Preposisional, bila intinya di bawah pengaruh sebuah preposisi.
Contoh: dengan senjata tajam, ke sekolah, bagi ayah saya, dan dari pasar.
Selain contoh di atas, frasa juga dapat dibedakan atas:
1. Frasa setara, bila kedudukan kata-katanya sederajat.
Contoh: ayah ibu, kakak adik, dan suami istri.
2. Frasa bertingkat, bila gabungan kata itu ada yang menjadi inti.
Contoh: rumah itu, petani muda, dan sangat nakal.
Berikut ini frasa Nominal yang diperluas.
1. Diperluas dengan meletakkan kata penggolong di depannya.
Contoh: lima ekor ayam, beberapa butir telur, dan sepucuk surat.
2. Diperluas dengan kata penunjuk ini atau itu.
Contoh: baju merah itu, rumah mewah ini, dan mobil bagus ini.
3. Diperluas dengan kata yang.
Contoh:
- Orang yang malas itu akhirnya kehilangan pekerjaan.
- Celana dia yang kuning dibeli di Singapura.
4. Diperluas dengan menambahkan aposisi (keterangan atau penjelasan pada ungkapan
sebelumnya)
Contoh:
-Indonesia, negara yang kita cintai, sedang dilanda musibah.
CERPEN
Di Indonesia cerpen mulai ditulis sekitar 1930. kumpulan cerpen pertama
adalah ”Teman duduk” karya M. Kasim (1936). Cerpen kemudian
dikembangkan oleh pengarang Pujangg Baru, seperti Armin Pane dan Hamka.
Selanjutnya cerpen berkembang dengan pesat. Bahkan kini merupakan bentuk
prosa yang dominan karena mudah disampaikan melalui surat kabar,
majalah, dan radio. Suman H.S. dikenal sebagai Bapak Cerpen dan Novelis
Indonesia. Novel pertamanya adalah Kasih Tak Terlerai (1929).
Unsur-unsur cerpen
A. Unsur Intrinsik Cerpen
1. Penokohan
Tokoh merupakan individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan
dalam berbagai peristiwa dalam cerita. Tokoh pada umumnya berwujud
manusia, tetapi dapat juga berwujud binatang atau benda yang diinsankan
(Panuti Sudjiman, 1988:16).
Tokoh merupakan bagian atau unsur dari suatu kebutuhan artistik yaitu
karya sastra yang harus selalu menunjang kebutuhan artistik itu, Kennye
dalam Panuti Sudjiman (1966:25).
Penokohan dalam cerita rekaan dapat diklasifikasikan melalui jenis
tokoh, kualitas tokoh, bentuk watak dan cara penampilannya. Menurut
jenisnya ada tokoh utama dan tokoh bawahan. Yang dimaksud dengan tokoh
utama ialah tokoh yang aktif pada setiap peristiwa, sedangkan tokoh
utama dalam peristiwa tertentu (Stanton, 1965:17).
Ditinjau dari kualitas tokoh, ada tokoh yang berbentuk datar dan tokoh
yang berbentuk bulat. Adapun tokoh yang berbentuk datar ialah tokoh yang
tidak memiliki variasi perkembangan jiwa, karena sudah mempunyai
dimensi yang tetap, sedangkan tokoh yang berbentuk bulat ialah tokoh
yang memiliki variasi perkembangan jiwa yang dinamis sesuai dengan
lingkungan peristiwa yang terjadi. Biasanya tokoh yang berbentuk datar
itu pada dasarnya sama dengan tokoh tipologis, dan tokoh yang berbentuk
built disebut tokoh psikologis. Dengan demikian tokoh tipologis juga
berarti tokoh yang tidak banyak mempersoalkan perkembangan jiwa atau
tidak mengalami konflik psikis, karena sudah mempunyai personalitas yang
mapan. Sedangkan tokoh psikologis adalah tokoh yang tidak memiliki
persoanlitas yang mapan dan selalu dinamis (Kuntowijaya dalam Pradopo
dkk, 11984:91).
Jika dilihat dari cara menampilkan tokohnya ada yang ditampilkan dengan
cara analitik dan dramatik. Penampilan secara anlitik adalah pengarang
langsung memaparkan karakter tokoh, misalnya disebutkan keras hati,
keras kepala, penyayang dan sebagainya. Sedangkan penampilan yang
dramatik, karakter tokohnya tidak digambarkan secara langsung, melainkan
disampaikan melalui; (1) pilihan nama tokoh, (2) penggambaran fisik
atau postur tubuh, dan (3) melalui dialog (Atar Semi, 1984:31-32).
Sering dapat diketahui bahwa cara pengarang menggambarkan atau
memunculkan tokohnya dengan berbagi cara. Mungkin cara pengarang
menampilkan tokoh sebagai pelaku yang hanya di alam mimpi, pelaku
memiliki semangat perjuangan dalam mempertahankan hidupnya, pelaku
memiliki cara yang sesuai dengan kehidupan manusia yang sebenarnya,
maupun pelaku egois, kacau dan mementingkan diri sendiri (Bouton dalam
Aminuddin, 1984).
Penyajian watak tokoh yang dihadirkan pengarang tentunya melahirkan
karakter yang berbeda-beda pula, antara tokoh yang satu dengan tokoh
yang lain. Cara mengungkapkan sebuah karakter dapat dilakukan melalui
pernyataan langsung, melalui peristiwa, melalui percakapan, melalui
menolong batin, melalui tanggapan atas pernyataan atau perbuatan dari
tokoh-tokoh lain dan melalui kiasan atau sindiran. Suatu karakter
mestinya harus ditampilkan dalam suatu pertalian yang kuat, sehingga
dapat membentuk kesatuan kesan dan pengertian tentang personalitas
individualnya. Artinya, tindak-tindak tokoh tersebut didasarkan suatu
motivasi atau alasan-alasan yang dapat diterima atau setidak-tidaknya
dapat dipahami mengapa dia berbuat dan bertindak demikian (Atar Semi,
1988:37-38). Penokohan atau perwatakan adalah pelukisan tokoh cerita,
baik keadaan lahir maupun batinnya termasuk keyakinannya, pandangan
hidupnya, adat-istiadat, dan sebagainya. Yang diangkat pengarang dalam
karyanya adalah manusia dan kehidupannya. Oleh karena itu, penokohan
merupakan unsur cerita yang sangat penting. Melalui penokohan, cerita
menjadi lebih nyata dalam angan pembaca.
Ada tiga cara yang digunakan pengarang untuk melukiskan watak tokoh
cerita, yaitu dengan cara langsung, tidak langsung, dan kontekstual.
Pada pelukisan secara langsung, pengarang langsung melukiskan keadaan
dan sifat si tokoh, misalnya cerewet, nakal, jelek, baik, atau berkulit
hitam. Sebaliknya, pada pelukisan watak secara tidak langsung, pengarang
secara tersamar memberitahukan keadaan tokoh cerita.
Watak tokoh dapat disimpulkan dari pikiran, cakapan, dan tingkah laku
tokoh, bahkan dari penampilannya. Watak tokoh juga dapat disimpulkan
melalui tokoh lain yang menceritakan secara tidak langsung. Pada
Pelukisan kontekstual, watak tokoh dapat disimpulkan dari bahasa yang
digunakan pengarang untuk mengacu kepada tokoh.
2. Alur
Pengertian alur dalam cerita pendek atau dalam karya fiksi pada umumnya
adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa,
sehingga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam
suatu cerita (Aminuddin, 1987:83).
Alur atau plot adalah rentetan peristiwa yang membentuk struktur cerita,
dimana peristiwa tersebut sambung sinambung berdasarkan hukum
sebab-akibat (Forster, 1971:93).
Alur adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun
sebagai sebuah interelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan
bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi (Atar Semi, 1988:43-46). Alur
merupakan kerangka dasar yang amat penting. Alur mengatur bagaimana
tindakan-tindakan harus bertalian satu sama lain, bagaimana satu
peristiwa mempunyai hubungan dengan peristiwa lain, bagaimana tokoh
digambarkan dan berperan dalam peristiwa itu yang semuanya terikat dalam
suatu kesatuan waktu.
Urutan peristiwa dalam karya sastra belum tentu merupakan peristiwa yang
telah dihayati sepenuhnya oleh pengarang, akan tetapi mungkin hanya
berasal dari daya imajinasi. Begitu pula urutan peristiwa itu jumlahnya
belum tentu sama dengan pengalaman yang dijumpai dalam kehidupan
sehari-hari. Oleh karena itu, urutan peristiwa yang demikian tidak lain
hanyalah dimaksudkan untuk mendekatkan pada masalah yang dikerjakan
terhadap tujuan dalam karya sastra.
Sehubungan dengan penjelasan tersebut di atas menurut tasrif ada lima
hal yang perlu diperhatikan pengarang dalam membangun cerita, yaitu :
(1) situation, yakni pengarang mulai melukiskan suatu keadaan, (2)
generating circumstances, yaitu peristiwa yang bersangkutan-paut, (3)
ricing action, keadaan mulai memuncak, (4) climax, yaiut peristiwa
mencapai puncak, dan (5) document, yaitu pengarang telah memberikan
pemecahan persoalan dari semua peristiwa.
Dari kelima bagian tersebut jika diterapkan oleh pengarang secara
berurutan no 1-5, maka disebut sebagai alur lurus (progresif), sedangkan
apabila penerapan itu dimulai dari tengah atau belakang disebut sebagai
alur balik (regresif).
Di samping kedua bentuk alur tersebut, ada pula alur yang disebut alur
gabungan. Dalam alur ini dipergunakan sebagian alur lurus dan sebagian
lagi alur sorot balik. Meskipun demikian gabungan dua alur itu juga
dijalin dalam kesatuan yang padu, sehingga tidak menimbulkan kesan
adanya dua buah cerita atau peristiwa yang terpisah, baik waktu atau pun
tempat kejadiannya (Suharianto, 1982:29).
Ditinjau dari padu tidaknya alur dalam sebuah cerita, maka alur dapat
dibedakan menjadi dua jenis, yakni alur rapat dan alur renggang. Dalam
alur rapat hanya tersaji adanya pengembangan cerita pada satu tokoh
saja, sehingga tidak timbul pencabangan cerita, akan tetapi apabila ada
pengembangan tokoh lain selain tokoh utama, maka terjadilah alur
renggang atau terjadi pencabangan cerita.
Dari beberapa batasan di atas jelas masing-masing alur mempunyai
keistimewaan sendiri. Alur lurus dapat memberikan kemudahan bagi pembaca
untuk menikmati cerita dari awal sampai akhir cerita. Akan tetapi lain
halnya dengan alur sorot balik (flash back). Alur ini dapat mengejutkan
pembaca, sehingga pembaca dibayangi pertanyaan apa yang terjadi
selanjutnya dan bermaksud apa pengarang menyajikan kejutan seperti itu.
Dengan demikian pembaca merasa terbius untuk membacanya sampai tuntas.
Dikatakan alur yang berhasil, jika alur yang mampu menggiring pembaca
menyelusuri cerita secara keseluruhan, tidak ada bagian yang tidak
ditinggalkan yang dianggap tidak penting.
3. Latar
Menurut pendapat Aminuddin (1987:67), yang dimaksud dengan setting/latar
adalah latar peristiwa dalam karya fiksi baik berupa tempat, waktu
maupun peristiwa, serta memiliki fungsi fisikal dan fungsi psikologis.
Lebih lanjut Leo Hamalian dan Frederick R. Karel menjelaskan bahwa
setting dalam karya fiksi bukan hanya berupa tempat, waktu, peristiwa,
suasana serta benda-benda dalam lingkungan tertentu, melainkan juga
dapat berupa suasana yang berhubungan dengan sikap, jalan pikiran,
prasangka maupun gaya hidup suatu masyarakat dalam menanggapi suatu
problema tertentu. Setting dalam bentuk terakhir ini dapat dimasukkan ke
dalam setting yang bersifat psikologis (Aminuddin, 1987:68).
Secara rinci Tarigan (1986:136) menjelaskan beberapa maksud dan tujuan pelukisan latar sebagai berikut :
1) Latar yang dapat dengan mudah dikenal kembali dan dilukiskan dengan
terang dan jelas serta mudah diingat, biasanya cenderung untuk
memperbesar keyakinan terhadap tokoh dan gerak serta tindakannya.
2) Latar suatu cerita dapat mempunyai relasi yang lebih langsung dengan arti keseluruhan dan arti umum dari suatu cerita.
3) Latar mempunyai maksud-maksud tertentu yang mengarah pada penciptaan atmosfir yang bermanfaat dan berguna.
Selain menjelaskan fungsi latar sebagai penggambaran tempat (ruang) dan
waktu, latar juga sangat erat hubungannya dengan tokoh-tokoh cerita,
karena tentangnya dapat mengekspresikan watak pelaku (Wellek, 1962:221).
Penggambaran latar yang tepat akan mampu memberikan suasana tertentu
dan membuat cerita lebih hidup. Dengan adanya penggambaran latar
tersebut segala peristiwa, keadaan dan suasana yang dilakukan oleh para
tokoh dapat dirasakan oleh pembaca.
4. Sudut Pandang
Cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya
disebut sudut pandang, atau biasa diistilahkan dengan point of view
(Aminuddin, 1987:90). Pendapat tersebut dipertegas oleh Atar Semi
(1988:51) yang menyebutkan istilah sudut pandang, atau point of view
dengan istilah pusat pengisahan, yakni posisi dan penobatan diri
pengarang dalam ceritanya, atau darimana pengarang melihat
peristiwa-peristiwa yang terdapat dalam cerita itu.
Sudut pandang membedakan kepada pembaca, siapa menceritakan cerita, dan
menentukan struktur gramatikal naratif. Siapa yang menceritakan cerita
adalah sangat penting, dalam menentukan apa dalam cerita, pencerita yang
berbeda akan melihat benda-benda secara berbeda pula (Montaqua dan
Henshaw, 1966:9).
Lebih lanjut Atar Semi (1988:57-58) menegaskan bahwa titik kisah
merupakan posisi dan penempatan pengarang dalam ceritanya. Ia membedakan
titik kisah menjadi empat jenis yang meliputi : (1) pengarang sebagai
tokoh, (2) pengarang sebagai tokoh sampingan, (3) pengarang sebagai
orang ketiga, (4) pengarang sebagai pemain dan narrator.
5. Gaya
Gaya adalah cara pengarang menampilkannya dengan menggunakan media
bahasa yang indah, harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana
yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca (Aminuddin,
1987:72). Hal demikian tercermin dalam cara pengarang menyusun dan
memilih kata-kata, tema dan dalam memandang tema atau persoalan,
tercermin dalam pribadi pengarangnya. Oleh Karena itu unsur cerita
sebagaimana tersebut di muka baru dapat sempurna apabila disampaikan
dengan gaya tertentu pula, karena gaya dalam karya sastra adalah bahasa
yang dipergunakan oleh pengarang (Suhariyanto, 1982:37).
Sehubungan dengan pembahasan ini pemberian gaya akan ditinjau melalui
dua sudut, yaitu gaya bahasa dan gaya bercerita, karena pengertian gaya
umumnya dapat dirumuskan sebagai cara pengarang menggambarkan cerita
agar cerita lebih menarik dan berkesan. Hal tersebut erat kaitannya
dengan kemampuan pengarang dalam penulisan cerita dengan penggunaan
bahasa, karena cerita pada dasarnya bermediakan bahasa.
5.1 Gaya Bahasa
Dalam persoalan gaya bahasa meliputi semua herarhi kebahasaan yaitu
pilihan kata secara individual, frase, klausa, kalimat dan mencakup pula
sebuah wacana secara keseluruhan (Keraf, 1984:112).
Pengembangan bahasa melalui sastra dikatakan bersifat pribadi karena
sastra itu sendiri merupakan kegiatan yang pribadi dan perorangan, ia
merupakan pengungkapan apa-apa yang menjadi pilihan pribadinya, hasil
seorang sastrawan melihat lingkungannya dan memandang ke dalam dirinya.
Atar Semi (1988:49) menyatakan bahwa gaya bahasa yang digunakan oleh
sastrawan, meskipun tidaklah terlalu luar biasa, adalah unik, karena
selain dekat dengan watak jiwa penyair; juga membuat bahasa yang
digunakannya berbeda dengan makna dan kemesraannya. Dengan gaya tertentu
seorang pengarang dapat mengekalkan pengalaman rohaninya dan
penglihatan batinnya, serta dengan itu pula ia menyentuh dan menggelitik
hati pembacanya. Karena gaya bahasa itu berasal dari batin seorang
pengarang, maka gaya bahasa yang digunakan oleh seorang pengarang dalam
karyanya secara tidak langsung menggambarkan sikap dan karakteristik
pengarang tersebut.
Sedangkan Muchin Ahmadi, dkk (1984:7) mendifinisikan gaya bahasa sebagai
kenyataan penggunaan bahasa (phenomena) yang istimewa dan tidak dapat
dipisahkan dari cara-cara atau teknik seorang pengarang dalam
merefleksikan pengalaman, bidikan, nilai-nilai kualitas, kesadaran
pikiran dan pandangannya yang istimewa. Secara tentatif tetapi praktis
gaya bahasa dapat dibatasi pengertian dasarnya sebagai suatu pengaturan
kata-kata dan kalimat-kalimat yang paling mengekspresikan tema, ide,
gagasan dan perasaan serta pengalaman pengarang. Secara garis besar gaya
bahasa dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu : (1) gaya bahasa
perasosiasian pikiran, dan (2) gaya bahasa penegasan, penekanan dan
penguatan.
5.2 Gaya Berbicara
Pada dasarnya gaya bercerita juga berperan penting bagi pengarang untuk
menulis cerita, di samping gaya bahasa yang dipergunakannya, karena
pengertian gaya cerita atau gaya bahasa pada umumnya dapat dijelaskan
sebagai salah satu metode pengarang dalam melukiskan cerita, sehingga
cerita dapat menarik bagi pembaca.
Dalam penulisan cerita, biasanya setiap pengarang mempunyai gaya yang
lain daripada yang lain. Pengarang biasa memperhatikan latar tepat atau
waktu sebagai pembuka atau penutup cerita, akan tetapi ada pula yang
menekankan pada tokoh atau penokohannya. Oleh karena cerita bermediakan
bahasa, maka gaya bercerita erat kaitannya dengan bentuk cerita yang
ditumpukan dalam bentuk frase, kata, kalimat bahkan paragraf, sehingga
semuanya membentuk struktur wacana cerita (Ihsan, 1990:63).
6. Tema
Menurut Scharbach dalam Aminuddin (1987:91), tema adalah ide yang
mendasari suatu cerita sehingga berperanan juga sebagai pangkal tolak
pengarang dalam memaparkan karya fiksi yang diciptakannya. Lebih lanjtu
Brooks berpendapat seperti yang dikutip Aminudddin (1987:72), bahwa
dalam mengapresiasi suatu cerita, apresiator harus memahami ilmu
humanitas, karena tema sebenarnya merupakan pendalaman dan hasil
kontemplasi pengarang yang berkaitan dengan masalah kemanusian serta
masalah lain yang bersifat universal.
Tema sebagaimana pendapat Sudjiman (1988:51) merupakan sebuah gagasan
yang mendasari karya sastra. Tema kadang-kadang di dukung oleh pelukisan
latar, dalam karya yang lain tersirat dalam lakukan tokoh, atau dalam
penokohan. Tema bahkan menjadi faktor yang mengikat peristiwa-peristiwa
dalam satu alur.
Tema sebagaimana pendapat-pendapat di atas merupakan pemikiran pusat
yang inklusif di dalam sebuah cerita (karya sastra). Kedudukannya
menyebar pada keseluruhan unsur-unsur signifikan karya sastra. Tema
tersebut ada yang dinyatakan dengan jelas, ada pula yang dinyatakan
secara simbolik atau tersembunyi (Scharbach, 1963:273). Aminuddin
(1987:92) merinci upaya pemahaman tema sebagai berikut:
1) Memahami setting dalam prosa fiksi yang dibaca
2) Memahami penokohan atau perwatakan para pelaku dalam prosa fiksi yang dibaca.
3) Memahami satuan peristiwa, pokok pikiran serta tahapan peristiwa dalam prosa fiksi yang dibaca.
4) Memahami plot atau alur cerita dalam prosa fiksi yang dibaca.
5) Menghubungkan pokok pikiran-pokok pikiran yang satu dengan yang
lainnya yang disimpulkan dari satu-satuan peristiwa yang terpapar dalam
suatu cerita.
6) Menentukan sikap penyair terhadap pokok pikiran yang ditampilkan.
7) Mengidentifikasikan tujuan pengarang memaparkan ceritanya dengan
bertolak dari satuan pokok pikiran serta sikap penyair terhadap pokok
pikiran yang ditampilkannya.
8) Menafsirkan tema dalam cerita yang dibaca serta menyimpulkannya dalam
satu dua kalimat yang diharapkan merupakan ide dasar cerita yang
dipaparkan.
Selain upaya pemahaman tema seperti di atas, untuk memahami tema,
seorang pembaca atau paresiator perlu juga memahami latar belakang
kehidupan yang diungkapkan pengarang lewat prosa fiksi yang merupakan
usaha pengarang dalam memahami keseluruhan masalah kehidupan yang
berhubungan dengan keberadaan seorang individu maupun dalam hubungan
antara individu dengan kelompok masyarakatnya.
B. Unsur Ekstrinsik Cerpen
C. Nilai-nilai yang terkadung dalam Cerpen
Penulisnya cerpen tidaklah asal-asalan membuat cerita. Penulis
menuangkan idenya berdasarkan sebuah nilai yang ingin disampaikan kepada
pembacanya, misalnya nilai moral dan nilai keagamaan. Selain kedua
nilai itu, masih banyak nilai lain di masyarakat.
Nilai moral (nilai etik)
adalah nilai untuk manusia sebagai pribadi yang utuh, misalnya
kejujuran; nilai yang berhubungan dengan akhlak; nilai yang berkaitan
dengan benar dan salah yang dianut oleh golongan atau masyarakat.
Nilai keagamaan
adalah konsep mengenai penghargaan tinggi yang diberikan oleh warga
masyarakat pada beberapa masalah pokok dalam kehidupan keagamaan yang
bersifat suci sehingga menjadikan pedoman bagi tingkah laku warga
masyarakat bersangkutan. pandangan pengarang itu diakui sebagai
nilai-nilai kebenaran olehnya dan ingin disampaikan kepada pembaca
melalui karya sastra.
Nilai moral dan nilai keagamaan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang
lainnya. Pandangan hidup yang berhubungan dengan moral itu bersumber
dari nilai keagamaan. Seseorang bisa dikatakan orang bermoral, karena
orang itu beragama. Moral lebih dekat hubungannya antara manusia dengan
manusia, sedangkan agama hubungannya antara manusia dengan Tuhan.
Menyadur cerpen menjadi drama
Menyadur adalah menyusun kembali cerita secara bebas tanpa merusak garis
besar cerita (KBBI, 2001: 976). Cerpen terdiri atas paragraf-paragraf,
sedangkan drama terdiri atas adegan-adegan dan dialog.
Langkah-langkah menyadur drama adalah
a. Membaca cerpen tersebut dengan teliti
b. Mengenali unsur-unsur cerpen, kemudian mencatat unsur-unsur tersebut.
c. Menyempurnakan catatan dari awal sampai akhir.
Menyadur cerpen dapat dilakukan juga dengan cara memperluas unsur
intrinsik dan unsur-unsur lain yang mendukung cerpen misalnya:
-menambah tokoh
- mengembangkan penokohan
- menghidupkan konflik
- menghadirkan latar yang mendukung
- memunculkan penampilan (performance)
Sebelum Anda menyadur cerpen menjadi drama pahamilah
bagian-bagian drama berikut ini:
1. pengenalan
2. pemunculan peristiwa atau masalah
3. situasi menjadi rumit atau masalah menjadi kompleks
4. masalah/persoalan mencapai klimaks/titik kritis
5. situasi surut dan penyelesaiannya
Terima kasih, telah mampir kesini.